Daerah
Forum Kwatak Bacarita Kupas Isu Pemangkasan Dana TKD: Pengamat, DPRD, dan Bapperida Tidore Angkat Suara

SOROTAN KATA – Forum diskusi publik Kwatak Bacarita kembali menjadi ruang intelektual yang hangat bagi berbagai kalangan di Kota Tidore Kepulauan. Dalam pertemuan yang digelar Komunitas Wartawan Tidore (KWATAK) di Aula Sultan Nuku, Selasa (7/10/2025), isu pemangkasan Dana Transfer ke Daerah (TKD) menjadi topik utama yang menyita perhatian publik.
Diskusi bertema “Pemangkasan Dana TKD, Pemkot Tidore Bisa Apa?” ini menghadirkan sejumlah narasumber, mulai dari pengamat ekonomi dan politik Ishak Naser, Wakil Ketua DPRD Kota Tidore Kepulauan Ridwan Moh. Yamin, Kepala Bapperida Saiful Bahri Latif, hingga praktisi keuangan daerah Ramli Saraha. Masing-masing menyoroti persoalan TKD dari sudut pandang berbeda, namun berujung pada satu kesimpulan: daerah tidak bisa berjalan sendiri tanpa koordinasi dan sinergi kebijakan fiskal dengan pemerintah pusat.
Kebijakan Fiskal Tidak Bisa Dilihat Sepihak
Pengamat ekonomi dan politik Ishak Naser menegaskan bahwa perbincangan soal dugaan pengurangan Dana Transfer ke Daerah tidak boleh dilihat secara parsial. Menurutnya, isu ini berakar dari kebijakan fiskal nasional yang memerlukan pembacaan regulatif dan kontekstual agar tidak menimbulkan kesalahpahaman di daerah.
“Permasalahannya bukan sekadar soal pengurangan. Kita perlu melihatnya dari konteks data dan regulasi yang berlaku agar pembahasannya lebih objektif,” ujar Ishak Naser di hadapan peserta forum.
Ia menjelaskan, mekanisme transfer dana dari pusat ke daerah tidak berdiri sendiri, melainkan diatur melalui sistem keuangan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).
“Pembahasan tentang TKD harus ditempatkan dalam kerangka kebijakan nasional. Jika tidak, akan muncul persepsi bahwa pemerintah pusat sengaja memotong anggaran daerah, padahal bisa jadi itu penyesuaian teknis dalam struktur fiskal nasional,” imbuhnya.
Ishak juga menyinggung perubahan regulasi pengelolaan keuangan daerah yang sebelumnya diatur melalui PP Nomor 12 Tahun 2019, pengganti PP Nomor 58 Tahun 2005. Menurutnya, perubahan-perubahan tersebut adalah bagian dari upaya pemerintah menyesuaikan sistem fiskal yang terus berkembang, bukan semata tindakan administratif.
“Pertanyaannya, apa alasan mendasar pemerintah mengganti PP 12 Tahun 2019? Ini penting dijelaskan agar masyarakat memahami bahwa setiap perubahan regulasi memiliki alasan teknokratik,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa penyempurnaan aturan turunan, seperti Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 yang menggantikan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, menjadi bukti bahwa pemerintah berupaya memperkuat transparansi dan integrasi dalam pengelolaan keuangan daerah.
Di akhir pemaparannya, Ishak menegaskan pentingnya sinergi lintas level pemerintahan.
“Kalau persoalan ini diserahkan hanya pada pemerintah daerah tanpa koordinasi lintas level, maka solusi yang dihasilkan tidak akan komprehensif,” tandasnya.
DPRD Tidore: TKD dan Tantangan Fiskal Daerah
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Kota Tidore Kepulauan, Ridwan Moh. Yamin, menyoroti dampak langsung kebijakan pengurangan TKD terhadap kemampuan fiskal pemerintah daerah. Ia menilai kebijakan tersebut bukan sekadar angka, melainkan persoalan yang menyentuh jantung keuangan daerah.
“Kita tidak bisa hanya menyalahkan satu pihak. Pemangkasan TKD ini bagian dari penyesuaian fiskal nasional, tapi dampaknya sangat dirasakan oleh daerah, terutama daerah dengan kemampuan PAD yang masih terbatas,” ujar Yamin.
Ia mengingatkan, dalam situasi fiskal yang terbatas, pemerintah daerah harus mampu menjaga prinsip efisiensi dan prioritas belanja publik agar pelayanan kepada masyarakat tetap optimal. Menurutnya, peran DPRD menjadi penting untuk memastikan setiap kebijakan anggaran berpihak pada kebutuhan rakyat.
“DPRD dan pemerintah daerah harus duduk bersama. Kita tidak bisa hanya pasif menunggu kebijakan pusat, tapi harus kreatif mencari sumber-sumber pembiayaan baru tanpa membebani rakyat,” ujarnya.
Yamin menilai forum seperti Kwatak Bacarita dapat menjadi ruang refleksi dan kritik konstruktif bagi semua pemangku kepentingan untuk mencari solusi menghadapi tantangan fiskal ke depan.
Bapperida: Jangan Tunggu, Jemput Bola ke Pusat
Pandangan berbeda disampaikan oleh Saiful Bahri Latif, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bapperida) Kota Tidore Kepulauan. Menurutnya, dalam situasi fiskal yang menantang, pemerintah daerah harus lebih proaktif menjemput peluang program dari kementerian dan lembaga.
“Sebagian besar anggaran kini ditarik ke kementerian dan lembaga, lalu disalurkan kembali ke daerah dalam bentuk program. Karena itu, OPD tidak boleh hanya diam di kantor, tapi harus bergerak ke Jakarta mencari program-program yang bisa dibawa pulang,” tegasnya.
Saiful menilai, pendekatan jemput bola bukan sekadar untuk mendapatkan tambahan dana, tetapi juga menjaga perputaran ekonomi lokal agar tetap dinamis.
“Yang kita butuhkan bukan hanya uangnya, tapi pergerakan ekonominya. Ketika ada kegiatan, ekonomi ikut berputar,” ujarnya.
Ia mencontohkan keberhasilan pembangunan Stadion Sosio yang terlaksana berkat kolaborasi lintas pihak.
“Itu contoh sederhana tapi dampaknya besar. Tukang bekerja, pedagang berjualan, material terjual. Ekonomi lokal ikut bergerak,” jelasnya.
Saiful menutup dengan pesan kepada seluruh OPD agar mulai membangun inisiatif dan jejaring sejak dini.
“Inilah bentuk pembinaan yang harus dimulai sekarang. Jangan menunggu, tapi menjemput,” ujarnya penuh semangat.
Praktisi Keuangan Daerah: Ada Pelanggaran UU
Suara paling tajam datang dari praktisi keuangan daerah Ramli Saraha, yang mengkritik keras kebijakan pemangkasan Dana Transfer ke Daerah (TKD). Ia menilai langkah pemerintah pusat bertentangan dengan Pasal 187 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (UU HKPD).
“Pemangkasan DAU jelas bertentangan dengan Pasal 187 UU HKPD. Ini bukan hanya soal anggaran, tetapi soal kepastian hukum dan penghormatan terhadap hak fiskal daerah,” tegas Ramli.
Menurutnya, dalam UU HKPD, pemerintah dilarang menurunkan Dana Alokasi Umum (DAU) dalam waktu lima tahun sejak undang-undang itu berlaku pada 2022. Karena itu, pemangkasan DAU tahun ini dianggap tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Ramli juga menyoroti penghapusan ketentuan minimal 26 persen porsi DAU dari total pendapatan netto daerah yang sebelumnya diatur dalam UU Perimbangan Keuangan. Ketentuan itu kini diganti dengan Pasal 124 UU HKPD, yang bersifat normatif dan tidak menjamin proporsi dana bagi daerah.
“Pasal tersebut ibarat pasal karet karena tidak menjamin porsi DAU bagi daerah,” ujarnya.
Ia menambahkan, penggabungan berbagai dana, seperti dana desa, dana otsus, dan dana keistimewaan, ke dalam satu skema TKD justru membuat pengelolaan keuangan daerah semakin kompleks dan rawan tumpang tindih.
Inkonsistensi Regulasi dan Tantangan Desentralisasi
Ramli juga menyoroti inkonsistensi regulasi dalam implementasi UU HKPD. Menurutnya, Pasal 130 UU tersebut membatasi penggunaan DAU hanya untuk enam urusan pelayanan dasar, padahal UU Pemerintahan Daerah mengatur 32 urusan yang menjadi kewenangan daerah.
Selain itu, kewajiban alokasi 30 persen DAU untuk belanja pegawai sebagaimana tertuang dalam Pasal 146 UU HKPD dinilai bertentangan dengan semangat reformasi birokrasi dalam UU ASN dan UU Pemerintahan Daerah.
“Kebijakan ini menunjukkan inkonsistensi dalam implementasi desentralisasi fiskal. Otonomi daerah yang dijanjikan selama ini masih jauh dari harapan,” tegasnya.
Ajakan Langkah Hukum dan Solusi Fiskal
Sebagai langkah strategis, Ramli mendorong aktivis, akademisi, dan organisasi pemerintah daerah seperti APEKSI, ADEKSI, APKASI, dan APDESI untuk mengambil langkah hukum terhadap kebijakan pemangkasan TKD, termasuk opsi judicial review UU HKPD ke Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 18A UUD 1945.
Di luar jalur hukum, Ramli mengajukan sejumlah strategi agar daerah tetap bisa bertahan dalam keterbatasan fiskal, di antaranya:
1. Mengembangkan ekonomi kreatif dan usaha produktif berbasis lokal;
2. Memberikan kemudahan investasi bagi pengusaha daerah;
3. Menerapkan konsep reinventing government melalui optimalisasi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD);
4. Membangun sinergi pengelolaan desa dan kelurahan dengan pendekatan tematik sebagaimana rekomendasi BRIN.
“Pembangunan nasional hanya akan berkelanjutan dan berkeadilan jika daerah diberi ruang fiskal yang memadai untuk berkembang,” pungkasnya.
Forum Wadah Kritik dan Solusi
Diskusi Kwatak Bacarita kali ini mencerminkan keseriusan berbagai pihak di Tidore untuk memahami dinamika fiskal nasional secara lebih objektif. Tidak hanya menjadi ajang kritik, forum ini juga menjadi ruang pembelajaran bagi pejabat, akademisi, dan masyarakat untuk merumuskan strategi kemandirian fiskal daerah.
Dari seluruh pandangan yang muncul, tersimpul satu pesan penting: kemandirian daerah tidak bisa dilepaskan dari sinergi dengan pusat. Dalam era fiskal modern, daerah dituntut tidak hanya adaptif terhadap kebijakan nasional, tetapi juga kreatif dalam menciptakan solusi lokal.***
- Daerah11 bulan ago
Bulan Depan Insentif Imam, Syara dan Pendeta di Kota Tidore Dibayarkan
- Daerah11 bulan ago
Ketua Organda Tidore Kecam Tindakan Premanisme Diduga Dilakukan Tim SAMADA di Mareku
- Daerah6 bulan ago
ASN Kota Tidore Kepulauan Mulai Konsolidasi Dukung Aksi Tuntutan DBH ke Pemprov Maluku Utara
- Berita2 bulan ago
Segera Terbit Buku Berjudul Tanpa Tidore, Indonesia Tidak Ada Pilar Timur dari Sabang Sampai Merauke
- Daerah4 bulan ago
Kelurahan Mareku Hadirkan Inovasi Pelayanan Publik Berbasis Teknologi
- Berita9 bulan ago
Pengembangan Ekonomi Kreatif di Kota Tidore, Ketua Gekrafs dan Dinas Pariwisata Gelar Audiensi dengan Kemenparekraf
- Politik11 bulan ago
Alasan DPC Partai Gerindra Kota Tidore Cabut Dukungan Politik kepada Paslon Wali Kota Tidore Sam Ada
- Daerah2 bulan ago
Disdukcapil Tidore: Hoax soal Rekomendasi Wali Kota dalam Layanan Kependudukan